SURGALAH UPAHNYA

 



Pejuang kehidupan

“Anak-anak siapa yang ingin menjadi pejuang?” Tanya Pak Hadi ke para siswa kelas 12.

Rupanya tidak satupun anak yang mengangkat tangannya. Mereka berpikir pejuang berarti harus berani mengangkat senjata dan resiko kematian  “Kok tidak ada yang mau menjadi penjuang?” Tanya Pak Hadi kembali sambil matanya sedikit melotot ke siswa di kanan dan kiri.

“Kan penjuang berarti harus berani mengangkat senjata dan resiko mati, Pak?” Kata Amir memberanikan menjawab pertanyaan Pak Hadi.

Dengan senyuman manisnya Pak Hadi menjelaskan bahwa pejuang itu tidak harus mengangkat senjata dan mati. Pejuang itu tidak harus di medan perang. Pejuang itu banyak jenisnya, tergantung bidang kemampuan.

“Lha untuk anak-anak seperti saya ini gimana, Pak?” Lanjut Amir yang sudah mulai penasaran dengan penjelasan Pak Hadi.

“Untuk anak-anak seperti kalian bisa berjuang menjaga nama baik,”jawab Pak Hadi sambil melangkah mendekati kursinya.

“Nama baik sekolah, nama baik yang bersangkutan, dan banyak sekali,” lanjutnya.

Pak Hadi menjelaskan, jika anak-anak bisa berprestasi maka akan membawa dampak yang luar biasa bagi siswa dan sekolah. Dan tidak lupa akan mendapatkan bantuan finansial tentunya.

Pak Hadi juga menjelaskan bahwa orang tua siswa bagian dari pejuang. Bapak berjuang sebagai pekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Pak Hadi mengatakan bahwa dirinya juga sebagai pejuang. Penjuang mencerdaskan anak bangsa secara umum dan khususnya pejuang kehidupan anak dan istrinya.

Penulis bagian dari pejuang

Pak Hadi menghentikan ceritanya, ia duduk menulis sesuatu di buku jurnal. Tiba-tiba ada yang bertanya. “Bapak saya sebagai penulis, apa termasuk pejuang Pak?” Tanya Aisyah.

Pak Hadi menanyakan ke Aisyah kebenaran pertanyaannya. Aisyah menjelaskan, di rumah banyak kiriman buku-buku dari penerbit-penerbit.

Pak Hadi tidak menjawab pertanyaaan Aisyah, ia malah semakin penasaran ingin sekali belajar sebagai penulis hebat seperti ayah Aisyah. Pak Hadi menitipkan pesan ke Aisyah kalau ingin silaturrahmi ke rumah bapaknya. Kebetulan ayah Aisyah juga berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta terkenal.

Hari Minggu sekitar jam setengah sembilan Hadir datang ke rumah ayah Aisyah. Ayah Aisyah biasa dipanggil Pak Burhan. Setiba di rumah Aisyah, Pak Hadi dipersilahkan masuk oleh Pak Burhan. “Silahkan duduk Pak!” Pinta Pak Burhan sambil mengatur kursi yang belum rapi sehabis dipakai bermain keponakannya.

Pak Hadi melihat ada paket kiriman di meja sebelah, ia mencoba melirik ternyata ada nama penerbit tertulis di alamat pengirim. Pak Burhan muncul dengan membawa dua buah botol aqua gelas bersama sepiring buah mangga yang sudah siap disantap. Dihidangkannya minuman dan makanan di meja tamu Pak Burhan mempersilahkan tamunya untuk minum dan makan.

“Pak Burhan itu kok ada kiriman paket dari penerbit?” Tanya Pak Hadi sambil menunjuk paketan di atas meja sebelah.

“Ooo itu kiriman buku saya dari penerbit indie,” jawab Pak Burhan sambil duduk di kursi sebelah Pak Hadi.

Pak Burhan menjelaskan kalau ia sedang menulis buku dan mencoba diterbitkan di penerbit indie. Untuk menembus ke penerbit mayor ia masih belajar. Pak Burhan mengajak Pak Hadi ke kamar kerjanya. Ditunjukkan beberapa buku yang sudah diterbitkan di penerbit indie. Rupanya laptop Pak Burhan masih menyala. Ada tulisan di laptop yang menarik perhatian Pak Hadi. Ia membaca sekilas tentang penerbitan di penerbit mayor.

“Pak Burhan sedang menulis apa itu?” Tanya Pak Hadi kepada Pak Burhan yang sedang merapikan buku-buku di rak perpustakaan kecilnya.

“Ooo sedang membuat resume belajar menulis on line semalam,” jawab Pak Burhan sembari mendekati laptopnya.

Pak Burhan rupanya sedang mengikuti pelatihan belajar menulis on line yang dikomandani Om Jay. Pelatihan semalam yang menjadi narsum Bapak  Joko Mumpuni Direktur Penerbit Andi yang termasuk penerbit mayor.

Ada ketertarikan dalam diri Pak Hadi setelah mendengar cerita Pak Burhan. Ia termotivasi agar bisa menerbitkan buku di penerbit mayor yang selama ini ia dambakan.

“Gimana Pak Hadi, tertarik ya?” Tanya Pak Burhan sambil menepuk pundak Pak Hadi. “Kalau kita bisa menerbitkan buku di penerbit mayor, maka kita menjadi seorang pejuang kehidupan,” lanjut Pak Burhan.

Kata Pak Joko bahwa bila seorang penulis bukunya bisa diterbitkan di penerbit mayor, maka  kegiatan ekonomi itu akan berjalan dan dijalankan oleh banyak pihak. Artinya apa?  Akan banyak orang mempunyai pekerjaan, gaji tetap, dan  bisa menghidupi kehidupan keluarga. Jadi penulis itu orang yang paling mulya, tidak kalah mulia dengan jabatan lain. Penulis itu upahnya surga.

Benar sekali kalau penulis itu upahnya surga. Penulis telah berjasa dalam menggerakkan roda kehidupan yang berkaitan dengan penerbitan bukunya. Di samping nama penulis akan dikenang sepanjang sejarah kalau dirinya pernah ada dan berjasa dengan keilmuannya. Maka tidaklah berlebihan kalau penulis  disebut penjuang kehidupan. Saya juga mencoba menjadi penulis yang bisa menerbitkan buku karya tulis ke penerbit mayor.

Awal menulis Joko Mumpuni

Penjelasan Pak Burhan tentang  kegiatan belajar menulis on line semakin menarik perhatikan Pak Hadi. “Lalu semalam Pak Burhan dapat materi apa saja dari Pak Joko?” Tanya Pak Hadi.

Pak Burhan menjelaskan tentang materi-materi belajar menulis on line semalam bersama narsum Joko Mumpuni.

Pak Joko mengatakan bahwa ia pertama kali belajar menulis adala sejak kelas 1 SD, yang mengajarinya adalah guru SD nya. Apalagi sekarang anak masih TK sudah diajari calistung ( baca, tulis, hitung).

Kelompok buku menurut Joko Mumpuni

 “Saya sebenarnya mempunyai file bahan ajar, itu termasuk apa?” Tanya Pak Hadi.

“Begini,” jawab Pak Burhan sambil menatap laptopnya menunjukkan materi semalam ke Pak Hadi. Menurut Pak Joko bahwa kelompok buku terbagi menjadi dua kelompok besar :

1.        Kelompok buku teks adalah buku yang dipergunakan untuk proses belajar mengajar dari PAUD, SD, sampai PT.

2.        Kelompok buku non teks  adalah buku yang tidak selalu digunakan dalam pengajaran.

Buku teks buku pelajaran dibagi menjadi dua yaitu

1.        Bupel (buku pelajaran) buku buku yang di butuhkan oleh siswa mulai dari tingkat PAUD, TK, SMP, SMA, dan SMK.

2.        Buku perti (perguruan tinggi), yaitu. buku teks perguruan tinggi lebih banyak variannya dibanding buku pelajaran, karena jumlah fakultas, jumlah jurusan di perguruan tinggi jauh lebih banyak dibanding mata pelajaran yang diajarkan di TK sampai SMA.

Buku teks perti itu dibagi menjadi dua bagian yaitu buku eksak dan non eksak.

Buku non teks dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu

1.        Buku fiksi mencakup novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi.

2.        Buku non fiksi mencakup buku anak, aktivitas anak, pengetahuan umum, dan sebaginya.

“Berarti bahan ajar termasuk bupel ya?” Tanya Pak Hadi setelah mendengarkan penjelasan Pak Burhan.

Budaya Literasi Indonesia menurut Joko Mumpuni Yang Menghambat Pertumbuhan Industri Penerbitan

“Saya ingin menjadi penulis handal agar bisa menerbitkan buku ke penerbit mayor seperti Penerbit Andi, tapi kok agak malas membaca ya,” kata Pak Hadi dengan wajah kusut seperti ada rasa penyesalan diri yang kurang minat bacanya.,

“Lha itu, katanya ingin mendapat upah surga?” Tanya Pak Burhan.

Pak Burhan menunjukkan penjelasan Pak Joko tentang budaya literasi Indonesia. Menurut Pak Joko memang di Indonesia tingkat literasinya masih rendah dibanding negara negara asia, bahkan asia tenggara pun kita kalah.  Diakui atau tidak memang benar budaya baca orang Indonsia kurang. 

Tingkat literasi ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi penerbitan. Apa penyebab indonesia terpuruk dibanding negara lain? Pertama adalah minat baca kurang. Budaya baca kita kurang. Contohnya kalau ada waktu senggang di rumah kebanyakan orang indonesia, waktu senggang itu digunakan untuk nonton atau baca?  Kedua minat tulis. Minat tulis indonesia kurang. Kecenderungan orang timur lebih tinggi minat ngomongnya, contoh  bila ketemu orang yang belum pernah ketemu, suka panjang ngomong, tetapi ketika kita disuruh menulis baru dapat sepatah dua patah kata sudah terpatah patah. Hal ini disebabkan karena tidak ada kebiasaan menulis, padahal orang yang pandai cerita sudah bisa dipastikan bisa menulis. Kenapa? Karena materinya sudah punya tetapi hanya diucapkan. Mulai sekarang tulislah !. 

Ketiga apresiasi hak cipta. Pembajakan karya seseorang di Indonesia begitu marak, padahal sudah ada undang-undangnya. Mungkin penegakan hukumnya yang masih perlu ditingkatkan agar para pembuat karya bisa terlindungi hak ciptanya.



Proses naskah menjadi buku menurut Joko Mumpuni

Setelah Pak Burhan cerita panjang lebar tentang literasi menurut Joko Mumpuni, Pak Hadi mengalihkan pembicaraan tentang penerbitan naskah menjadi buku sejak dari penulis sampai ke toko buku.

“File buku ajar saya jika ingin diterbitkan menjadi buku, bagaimana caranya?” Tanya Pak Hadi melanjutkan pembicaraan berikutnya.

“Coba Pak Hadi baca tulisan ini!” Pinta Pak Burhan sambil menunjuk kalimat resume materi yang tertulis di laptopnya.

Menurut Pak Joko Mumpuni bahwa proses naskah menjadi buku sejak dari penulis sampai ke toko buku adalah pertama jika sudah selesai menulis maka dikirim ke  penerbit, jangan disimpan di lemari. Dan oleh  penerbit dipelajari untuk kemungkinan penerbitannya. Jadi penerbit tidak menghakimi tulisan tersebut, baik atau tidak baik , salah atau benar. Hanya ada dua jawaban dari penerbit, pertama diterima, kedua ditolak. Jika ditolak, maka dikembalikan ke penulis dan jika diterima, maka diterima akan diterbitkan atas biaya penerbit termasuk memberikan royalti kepada penulis tiap kurun waktu tertentu. Di Penerbit Andi tiap 6 bulan sekali royalti dari perhitungan buku yang terjual lunas x harga x 10 % sebagai royalti ke penulis. Ada potongan ppn 10 % untuk negara. Jika tidak mempunyai NPWP, maka potongannya  35 %.

Berikutnya penerbit memberitahu lewat surat, atu email, atau WA bahwa naskah diterbitkan dan penulis dimohon mengirim naskah lengkap dan ada tanda tangan surat perjanjian penerbitan dalam surat tersebut. Penerbit menunggu soft kopi, lalu diedit, dibuat desaign cover dan setting isinya. Di Penerbit Andi ada 60 editor.

Proses berikutnya, ada dami, yaitu naskah buku yang sudah jadi buku tetapi belum dicetak masif, akan dikirimkan kepada penulis untuk dikoreksi sebelum dicetak secara masif oleh penerbit. Lalu oleh penulis dikirim lagi. Penerbit mengoreksi, kemudian dicetak dan diedarkan.

“Wah panjang sekali ya prosesnya!” Kata Pak Hadi sembari merebahkan badannya di dipan karena capek duduk.




Cara memilih penerbit yang baik menurut Joko Mumpuni

“Menurut Pak Burhan, Penerbit Andi itu baik atau tidak mutunya?” Tanya Pak Hadi sambil duduk kembali dengan bersandar di tembok.

“Pak Joko bilang bahwa penerbit yang baik itu tidak sekedar mayor atau minor,” jawab Pak Burhan.

Pak Burhan mengatakan bahwa cara memilih penerbit yang baik menurut Pak Joko Mumpuni adalah penerbit yang :

1.    Memiliki visi dan misi yang jelas.

Misalkan Penerbit Andi,  apa misinya? Yaitu buku buku pendidikan. Maka Penerbit Andi tidak akan menerbitkan buku-buku yang bertentangan dengan pendidikan, misalkan buku-buku politik praktis, buku-buku pornografi, itu tidak mungkin diterbitkan.

2.    Memiliki bussines cor lini produk tertentu

3.    Pengalaman penerbitan. Penerbit Andi masih 42 tahun pengalamannya.

4.    Jaringan pemasaran. Penerbit Andi mempunyai 48 kantor cabang.

5.    Memiliki percetakan sendiri. Ini biar aman dari pembajakan.

6.    Keberanian mencetak jumlah eksemplar

7.    Kejujuran dalam pembayaran royalti. Jangan terjebak dengan royalti yang besar.

“Lumayan bagus juga ya Penerbit Andi,” kata Pak Hadi dengan menganggukkan kepala.

 



Sistem penilaian di penerbit menurut Pak Joko :

1.        Editorial,  bobot 10 %

2.        Peluang potensi pasar, bobot 50 %  - 100 %

3.        Keilmuan, bobot 30 %

4.        Reputasi penulis,  bobot 10 % - 100 %

 


“Pak Hadi nanti akan mendapatkan sesuatu setelah bukunya diterbitkan,” kata Pak Burhan.

“Apa itu?” Tanya Pak Hadi terbangun penasaran.

Menurut Pak Joko bahwa jika penulis bukunya diterbitkan, maka penulis akan mendapatkan :

1.    Kepuasan. Bayangkan ketika jalan-jalan ke toko buku dilihat ada nama kita tertulis sebagai penulis. Dan masih banyak lagi yang membuat penulis puas secara batin.

2.    Reputasi. Setelah penulis berhasil menerbitkan bukunya di penerbit, apalagi penerbit mayor maka penulis akan terkenal. Mungkin penulis akan dipanggil sebagai narsum atas buku yang ditulisnya.

3.    Karir. Misalkan sebagai guru PNS, bisa meningkatkan pangkatnya.

4.    Royalti. Akan mengalir pundi-pundi keuangan ke penulis dari penerbit.

 

Naskah yang diterima penerbit menurut Joko Mumpuni

1.        Tema tidak populer, tapi penulis populer. Misalkan seperti Presien Jakowi, jika beliau menulis maka penerbit langsung menerimanya.

2.        Tema populer, penulis populer. Posisi ini juga diterima penerbit.

3.        Tema populer, penulis tidak populer. Posisi ini biasanya untuk penulis pemula. Dan posisi ini biasanya masih diterima penerbit.

4.        Tema tidak populer, penulis tak populer. Posisi yang ke-4 ini ditolak penerbit.


Menurut Pak Joko Mumpuni, cara mencari tema-tema yang lagi ngetren bisa mencari di google trend. Akan terlihat di sana tema-tema yang lagi naik daun, termasuk pemasarannya.

Setelah panjang lebar Pak Hadi mendapatkan penjelasan Pak Burhan, ia berpamitan pulang. Ia ingin sekali menerbitkan bukunya ke penerbit mayor seperti ke Penerbit Andi.

 Selingan dari Pak Joko Mumpuni





Lalu, bagaimana dengan saya?

Saya akan berusaha menulis setiap hari. Setelah itu lancar, akan mencoba mengikuti apa yang diharapkan oleh penerbit. Tema-tema yang lagi naik daun saya coba untuk ditulis dan diajukan ke penerbit, terlebih ke penerbit mayor. Saya ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup saya, yaitu sebagai pejuang kehidupan yang berupah surga nanti. Aaamiin

 

Komentar

  1. Waw mantap x pak resumenya. Berbentuk cerita keren pak Ahsan...

    BalasHapus
  2. Makasih ustadz idris,, cepet sekali bacanya

    BalasHapus
  3. wah ini sangat rapi pak, moga jadi inpirasi saya.
    keren mantaf

    BalasHapus
  4. Wah lengkap sangat tulisannya, tp paragrafnya jangan panjang2 ktnya...
    Resumenya mantaap..

    BalasHapus
  5. Bagus tylisannya.... Mkn maju.... Selamat

    BalasHapus
  6. Makasih sobat semua atas kunjungannya,, sukses selalu

    BalasHapus
  7. Baik, saya kasih komentar ya!
    1. Pada bagian depan, sudah benar disebutkan pejuang, tapi kok diganti jadi penjuang?
    2. “Kan penjuang berarti harus berani mengangkat senjata dan resiko mati, Pak ?”, kata Amir memberanikan menjawab pertanyaan Pak Hadi.
    Seharusnya, Pak dengan tanda tanya jangan dipisahkan. Terus, setelah tanda kutip tidak usah pakai koma, kan sudah ada tanda tanya. Untuk kata Amir seharusnya Kata Amir.
    3. Aisyah menjelaskan, di rumah banyak kiriman buku-buku dari penerbit-penerbit dan ternyata nama bapaknya sebagai penulis. Ini kalimat mubazir, semestinya banyak kiriman buku dari penerbit.
    4. “Wah panjang sekali ya prosesnya,” Mestinya pakai tanda seru di belakang prosesnya.
    5. Pak Burhan menunjukkan penjelasan Pak Joko dan seterusnya, paragraf panjang. Bisa dipecah jadi dua atau tiga paragraf.

    Yang lainnya sudah bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip penjelasan dan koreksinya,, makasih pak kwtua atas kunjungan dan sarannya,, sukses selalu

      Hapus
  8. selalu menjadi cerpen yang menarik

    BalasHapus
  9. Better late than never..
    Resumenya bagus pak..

    BalasHapus
  10. Pak Ahsan salam kenal ya buat Pak Burhan dan Pak Hadi Salam literasi

    BalasHapus
  11. Makasih buat semuanya,,,salam sukses selalu

    BalasHapus
  12. Resume lengkap dan informatif, keren

    BalasHapus
  13. wah..keren pak. Salam buat pak Hadi ya

    BalasHapus
  14. Resume dibuat lain. Keren. Salam kenal Pak. Sukses selalu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAPA HARUS MENULIS

KATA ADALAH SENJATA

PANDEMI MEMBAWA BERKAH

MENULIS SEMUDAH UPDATE STATUS

MIRIP SINYAL GAWAI

PUCUK DICINTA ULAM TIBA

BLOG MEDIA DOKUMENTASI

TIADA KATA TERLAMBAT

SANTRI SEHAT INDONESIA KUAT