ASAL USUL MANGGA MANALAGI
Saat itu hari Jum’at, dimana saya tidak melakukan KBM daring karena sekolah saya libur hari Jum’at. Ku ajak istri dan anakku yang terakhir bersilaturrohim ke saudara, karena yang no satu dan dua lagi mondok di Ponpes Bani Sholeh di Gudo Jombang. Saya ajak pula sepupuku bersama tiga anak perempuannya dan satu keponakannya. Saudara saya tinggal di Desa Banaran Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk. Saudara saya sebut saja namanya Nanang merupakan anak dari Bulek Alfan. Bulek Alfan merupakan adik dari ibu saya. Nanang telah dikaruniani seorang anak putri yang lahir operasi sesar di Rumah Sakit Nganjuk pada hari Kamis, 8 Oktober 2020. Nanang telah mempunyai dua orang anak, keduanya perempuan. Dia sebenarnya mengharapkan anaknya laki-laki, tapi takdir berkata lain. Alasannya karena selama ini cucu ibunya belum ada yang laki-laki, ia ingin menunjukkan keperkasaannya bisa memiliki anak laki-laki.
Saya dan rombongan naik kuda besi setia Daihatsu Hijet buatan tahun 1984. Hijet yang hampir setara umurnya dengan saya. Hijet saya itu bandel banget. Sebelum hari H tepatnya hari Kamis, Si Hijet agak rewel kaki kiri depan. Kulit luar roda terkelupas sehingga terlihat seratnya. Peristiwa ini membuat saya khawatir kalau nanti meletus saat perjalanan. Akhirnya saya bawa ke toko penjualan ban, sebut aja namanya Toko Ban Antik di wilayah Diwek. Bukan untuk membeli ban baru, tapi meminta memasangkan ban serep yang selalu siap menanti saat dibutuhkan.
Di dalam mobil saya lah yang paling ganteng. Anak-anak, istri, dan
saudara pada canda riang karena sudah hampir 10 tahun lebih tidak pernah ke
Banaran Nganjuk semenjak mengantar pernikahan Nanang. Mobil hijetku yang baru
sakit membuat saya kasihan kalau jalan kecepatan di atas 60 km/jam. Ku setir
santai dibawah kecepatan 60 km/jam, disamping jalanan aspal yang banyak mulai
protes bergelombang. Pemandangan kanan kiri yang masih banyak sawah pertanian
membuat sedap dan segar dipandang, disamping mendengarkan musik-musik mobilku
yang lagi on air.
Rasa kasihan kadang muncul ketika pas berhenti di lampu setopan.
Masih banyak orang-orang yang mengais rizqi dengan cara sebisanya. Ada ibu-ibu
bermodalkan kemucing membersihkan setiap kaca mobil yang berhenti, ada
bapak-bapak tua juga ikut, dan tak ketinggalan pengamen dengan berbagai alat
musik buatan mereka. Juga penjual jajanan dan buah. Mungkin akibat dampak
pandemi covid-19 yang sampai saat ini belum jelas, kapan berakhirnya ?. Saya
kadang dongkol juga kalau melihat anak muda yang masih panjang harapan dan cita-citanya,
bergerombol nongkrong di pinggir jalan, terus temannya mengamen dapat uang
untuk foya-foya. Mau tidak diberi uang gimana ? ya saya beri aja. Itung-itung
membantu mereka daripada nanti mencuri atau apa lah.
Sudahlah itu cerita saat di lampu merah. Kembali ke tujuan semula
silaturrahim ke Nanang. Perjalanan dari Jombang pada jam setengah 8 sampai di
desa Nanang sekitar jam 9 lebih. Sebenarnya arah menuju rumah Nanang sudah
lupa, tapi saya diberi alamat bulek saya, sebut saja namanya Bulek Nunes. Saya
ikuti sesuai arah sambil masih bertanya pada orang-orang di pinggir jalan. Saya
lewat jalur Sembung ke Pos Polisi Sukomoro belok kiri sampai pertigaan. Dari
pertigaan saya belok kanan, sekitar 50 m dari pertigaan ada renovasi tembok
sungai dan petugas jalan, saya tanya lagi dan diarahkan ke barat. Bertemulah
saya dengan bangunan gapura, lalu saya belok kiri dan tanya lagi pada dua
orang perempuan. Akhirnya dengan petunjuk orang tersebut ketemulah rumah Nanang
yang berada di utara mushollah mertuanya. Rumahnya menghadap ke barat, ada beberapa sangkar burung perkutut yang
lagi digantung di kiri rumah. Istri dan rombongan turun, mobil saya lanjut ke
arah utara mencari daerah yang bisa dipakai belok mobil. Saya parkir mobil
dengan posisi siap menghadap ke selatan.
Istri dan rombongan mengetuk pintu, dibukalah pintu oleh seorang
perempuan yang sedang menggendong bayi. Salam dan canda rombongan di dalam
ruang tamu. Saat itu Nanang bersama anak perempuan yang pertama lagi ke pasar
membeli anting-anting buat putri bayinya. Hampir setengah jam saya dan
rombongan berbincang yang waktu itu ibu mertua Nanang juga ikut menyambut.
Terdengar bunyi sepeda motor di depan rumah, ternyata Nanang sudah pulang dari
pasar. Dia masuk ke ruang tamu dengan ucapan salam, lalu berjabat tangan satu
persatu. Nanang terlihat membawa sesuatu di dalam tas kresek. Munculnya ibu mertuanya dari
dalam dapur dengan membawa sepiring buah jeruk dan roti satu plastik besar. Dalam hatiku “ooo ini to
yang dibawa tadi”. Alhamdulillah bisa mengobati rasa kering tenggorokanku.
Nanang bercerita ke saya tentang pekerjaannya. Bagaimana saat di
Papua, di NTT, dan di Maluku. Ternyata sangat senang dan menyedihkan. Terutama
orang-orang pribumi Papua yang masih agak primitif membutuhkan perhatian khusus
tentang arti sebuah kehidupan yang layak. Semoga mereka bisa benar-benar
mengerti apa sebernarnya yang harus mereka ketahui. Hampir seperempat lebih
saya dan Nanang berbincang. Satu jam lebih saya dan rombongan ngobrol. Istri
bilang ada whattapps masuk dari temennya sebut aja namanya Mbak Uul. Makh Uul
meminta istri untuk mampir di rumahnya yang beralamat Desa Krempyang Kecamatan
Tanjunganom. Saat mau pulang, saya bertanya ke Nanang arah yang cepat menuju
alamat tersebut. Ia bilang tidak usah kembali lewat jalur Pos Polisi Sukomoro,
tapi mengambil jalur lurus ke timur setelah keluar dari gapura arah Banaran.
Perjalanan berlanjut ke teman istri saat mondok di PPP Lirboyo
Kediri. Sebenarnya kakak kelas, cuma kenal dekat karena pernah sama-sama jadi
pengurus pondok. Istri menghubungi temannya sulit, karena ternyata di daerah
sekitar Pace sinyal operator Indosat agak terganggu. Apalagi kuota paketan
gawai istri habis dan saya sulit mengirim pulsa karena juga terganggu jaringan.
Akhirnya rombongan tetap nekad ke rumah Mbak Uul walau belum ada jawaban darinya.
Tapi rombongan mantap karena dia sebelumnya meminta mampir ke rumahnya. Saya
tancap gas Si Setia Hijet tidak terlalu
cepat, dengan santai dengan suasana agak sedikit mendung dengan udara semilir.
Mobil berjalan sampai pertigaan lampu merah Tanjunganom, lalu belok ke kiri.
Sekitar kurang lebih 100 m dari lampu merah, mobil berhenti menepi ke sebelah
barat jalan dekat penjual buah jeruk. Istri membeli sekitar 2 kg buah jeruk
untuk oleh-oleh ke temannya. Sambil berhenti membeli buah, saya keluar bertanya
pada penjual arah Pasar Warujayeng. Karena yang saya ingat pasar tersebut.
Perjalanan dilanjut sampai lampu merah dan belok kanan menuju Desa
Krempyang. Agak sedikit bingung setibanya masuk desa, kira-kira mana ya arah ke
rumahnya ?. Dilanjut terus ke timur dan ada arah ke selatan bertuliskan MTs
Tanjunganom. Langsung saya putar mobil ke selatan karena saya ingat rumah teman
istri depan MTs tersebut. Dulu pernah ke rumahnya tapi agak lupa. Saya parkir
mobil tepat di depat arah keluar di teras rumah Mbak Uul. Waktu itu Mbak Uul
bersama ibunya sedang menjemur kripik tempe buatannya. Rombongan mengucapkan
salam dan saling berjabat tangan. Rombongan dipersilahkan duduk di ruang tengah
sambil santai duduk di atas lantai, karena ingin merasakan kesegaran udara
persawahan. Karena rumah Mbak Uul kebetulan sendirian tanpa tetangga sama
sekali yang diapit persawahaan yang lagi ditanami padi yang siap menguning.
Hidangan krupuk tempe sudah siap di depan rombongan dan tanpa
pikir panjang langsung disantap. Rasa krupuk tersebut sungguh sangat renyah dan
empuk tidak seperti krupuk tempe biasanya yang ada di Jombang. Sanjungan akan
enaknya krupuk diberikan terus oleh istri dan saudari saya. Belum seperempat
jam krupuk sudah hampir ludes. Canda dan gurau antara istri, saya, Mbak Uul dan
suaminya berlangsung hangat karena sudah hampir 8 tahun tidak pernah ke
rumahnya. Tapi memang kadang istri bertemu Mbak Uul saat ada acara di PPP
Lirboyo.
Terdengar suara alunan ayat-ayat Suci Al-Qur’an dari masjid
kampung yang menunjukkan tanda akan dilaksanakan Salat Jum’at. Saya ijin ke Pak
Imam suami Mbak Uul untuk mengambil air wudlu. Lalu Pak Imam juga selesai wudlu
dan siap-siap dengan anak putranya menunggu naik sepeda motor. Saat Salat
Tahiyatal Masjib di masjid serasa ada yang menggigit di pinggang kiri saya
seperti tawon. Salat agak dipercepat dan ternyata ada serangga mirip tomket.
Mungkin itu sinyal agar saya ingat pernah salat di masjid Pondok Krempyang.
Karena masjid itu merupakan masjid pondok. Serangkaian kegiatan jum’atan saya
ikuti sampai Salat Jum’at selesai dan pulang. Sesampainya di rumah Mbak
Uul, saya masuk dan istirahat sambil menunggu rombongan Salat Dhuhur. Dan saya
lihat wadah krupuk sudah penuh dengan krupuk tempe lagi. Rupanya Mbak Uul
menggoreng lagi. Wah jadi malu nih rombongan yang rakus. Setelahnya, datanglah
Mbak Uul dengan membawa sekresek bakso dan setumpuk piring dihidangkan ke
rombongan. Dipersilahkannya rombongan makan bakso. Dari dapur dibawakan juga
magic jar berisi nasi dan secerek es garbis yang sangat menggoda. Sehabis makan
bakso, istri sambil tertawa kecil berkata, “Tak kira mangga manalaginya sudah
tua-tua, ee ternyata masih muda”. Mbak Uul bilang kalau minggu lalu mangga yang
tua dipetik dibawa silaturrahim ke rumah adiknya di Blitar. Lewat dapur, Mbak
Uul menuju mangga manalagi yang ada di samping rumah memetik beberapa mangga
yang kelihatan sudah agak tua. Istri juga mengikutinya.
Itulah kisah asal usul mangga manalagi oleh-oleh dari teman istri
di Krempyang Tanjunganom Nganjuk. Maaf kalau pembaca penasaran dikira memang
betulan kisah asal usul mangga manalagi. Tapi ini memang kisah nyata asal usul
mangga manalagi oleh-oleh saya. Jika pembaca ingin mengetahui asal usul mangga
manalagi, coba baca link berikut : http://ilmusejarahbiologi.blogspot.com/2013/11/klasifikasi-tanaman-mangga-manalagi.html#:~:text=Pernah%20mencoba%20mangga%20manalagi%3F,tebal%20dan%20rasa%20manisnya%20pas.&text=Nama%20binomial%3A%20Mangifera%20indica%20L.
Komentar
Posting Komentar