SECERCAH HARAPAN_Kuda Besi

 

Sumber: https://m.jpnn.com/news/program-baru-rajin-naik-sepeda-ke-sekolah-bakal-dapat-hadiah


Agus mengayuh sepeda menuju ke rumahnya yang berjarak sekitar 200 meter. Ia mengambil jalan di pinggir khusus pesepeda. Bersama dia juga ada teman-temannya yang mengayuh sepeda.

Jalanan agak ramai karena merupakan jam pulang sekolah.

Rupanya banyak juga siswa perempuan yang juga bersama naik sepeda. Rumah Agus tidak berada di pinggir jalan raya, tetapi masuk suatu gang.

Sesampainya di perempatan lampu merah Agus belok ke kanan menuju gang di mana rumahnya berada.

Masih sekitar 80 meteran jarak rumah dia dari belokan jalan raya. Ia dengan asyiknya mengayuh sepeda sedikit kencang. “Si Kuda Besi” yang ia pakai merupakan hadiah ulang tahun dari orang tuanya.

Ketika asyik mengayuh sepeda, tiba-tiba ada anak kecil keluar dari halaman rumah. Anak kecil yang baru bisa naik sepeda. Anak tersebut tidak mengetahui kalau ada orang di jalan yang juga sedang mengayuh sepeda.

Kecepatan sepeda yang diayuh anak tersebut membuat Agus kaget dan harus membanting setir ke kiri. Gang yang cuma 2 meteran lebarnya membuat sepeda Agus menabrak tiang listrik di pinggir jalan.

“Prak”, bunyi tabrakan sepeda Agus dengan tiang listrik. Agus tidak mengalami apa-apa karena ia bisa melompat dari sepedanya.

Rasa gemetar atas peristiwa itu membuat ia harus duduk di pinggir jalan menenangkan diri. Anak kecil yang mengagetkan tetap asyik naik sepeda di pinggir jalan. Syukur ia tidak tertabrak sepeda Agus.

Setelah beberapa menit Agus menenangkan diri, ia berdiri menuju sepedanya yang menabrak tiang listrik. Betapa kagetnya ia setelah mengetahui ban depan Kuda Besinya bengkok. Bengkoknya “Si Kuda Besi” mungkin karena kerasnya hantaman dia dengan tiang listrik. Rasa bingung dan resah membuat ia harus berpikir bagaimana bisa pulang dengan sepeda kondisi normal.

“Gus kenapa? Tanya Dina yang juga naik sepeda pulang dari sekolah.

“Ini Din! Jawab Agus sambil menunjukkan telunjuknya ke roda depan sepedanya.

Dina menawari Agus bagaimana kalau sepedanya dibawa ke rumah. Dina menawarinya karena kebetulan orang tuanya mempunyai bengkel sepeda beserta jual beli onderdilnya.

“Gimana caranya membawa ke rumahmu Din? Tanya Agus sambil mengusap air keringat di wajahnya karena cuaca yang panas.

“Gini aja saya panggilkan Pak Marsim”, jawab Dina. Pak Marsim seorang tukang becak yang biasa mangkal di gang perempatan.

Agus naik becak bersama sepeda yang diikat di sebelahnya. Ia naik becak menuju rumah Dina. Rumah Dina masih masuk perempatan kecil dari gang. Jadi tidak sejalur dengan rumah Agus.

Jika lewat jalan setapak sebenarnya rumah Dina berada di belakang rumah Agus.

“Semoga peleg banku ada onderdilnya”, gumam Agus dalam hatinya. Ia khawatir orangtuanya mengetahui peristiwa yang dialaminaya.

Hatinya berperang penuh kekhawatiran. Kobaran api dari orang tuanya tidak ia inginkan terjadi.

Sesampainya di rumah Dina, Pak Marsim menurunkan sepedanya untuk direparasi di bengkel orang tua Dina.

“Kenapa Gus”, tanya Pak Naim orang tua Dina. Pak Naim mempunyai dua karyawan di bengkelnya.

“Ini Pak! Kata Agus menunjuk roda depan sepedanya.

“Lho! Nabrak apa ini? Tanya Pak Naim kembali sambil memegang ban depan sepeda Agus.

Agus menceritakan peristiwa yang dia alami saat pulang ke rumah. Pak Marsim dimintanya untuk mengganti peleg yang bengkok dengan baru.

“Kira-kira ada apa tidak Pak? Tanya Agus sambil mengerutkan wajahnya seakan ada rasa takut kobaran api orang tuanya.

“Coba saya lihat dulu nomor dan jenisnya”, jawab Pak Marsim.

Pak Marsim lalu mengecek di tokonya apakah stoknya masih ada. Beliau ke gudang tempat penyimpanan onderdil. Hampir seperempat jam beliau belum muncul dan menampakkan badannya.

Agus semakin gusar, ia tidak mengambil posisi duduk di tempat yang ada. Ia terlihat mondar-mandir seperti orang lagi kebingungan.

Dari dalam muncullah Pak Marsim dengan membawa peleg. Agus melihat apa yang dibawa Pak Marsim persim sama dengan peleg sepedanya.

“Alhamdulilah ada Gus”, kata Pak Marsim sambil menunjukkan bendanya.

“Alhamdulillah”, kata Agus sambil mengencangkan raut wajahnya. Wajahnya terlihat kencang bak barisan pasukan tentara marinir.

Pak Marsim meminta karyawannya untuk mengganti peleg sepeda Agus dengan yang baru. Sambil menunggu sepedanya diservis, ia sudah mulai memberikan hak pada pantatnya di kursi yang disediakan.

Walau rumahnya berada dekat dengan rumah Dina, Agus tidak menyempatkan pulang dulu. Padahal perutnya sudah mulai bernyanyi. Nyanyian rindu datangnya kekasih yang diidamkan. Kekasih yang bisa menghasilkan energi untuk aktifitas kembali setelah hampir seharian tak bertemu.

Setelah hampir setengah jam, akhirnya sepeda Agus kembali normal. Tapi ada sial sedikit yang menimpa Agus. Ia tidak membawa uang cukup untuk membayar onderdil dan ongkos kerjanya.

“Gak pa pa! Bawa dulu aja sepedamu”, kata Pak Marsim mengijinkan Agus membawa sepedanya walau uangnya baru dibayar nanti.

Agus bisa pulang kembali mengayuh “Si Kuda Besi”. Tidak ada protes lagi dari sepedanya. Ia menakinya dengan lancar serasa normal seperti sedia kala.

Sesampainya di rumah ia mengambil uang di celengannya untuk membayar servis dan beli orderdel sepedanya. Ia tidak mau meminta ke orang tuanya, karena khawatir mengetahui peristiwa yang menimpanya. Bagi Agus yang penting “Si Kuda Besi” sepedanya terlihat normal kembali seperti  semula.


Salam Literasi,


AHSANUDDIN, S.Pd, M.MPd

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGAPA HARUS MENULIS

SURGALAH UPAHNYA

KATA ADALAH SENJATA

PANDEMI MEMBAWA BERKAH

MIRIP SINYAL GAWAI

MENULIS SEMUDAH UPDATE STATUS

PUCUK DICINTA ULAM TIBA

BLOG MEDIA DOKUMENTASI

TIADA KATA TERLAMBAT

SANTRI SEHAT INDONESIA KUAT