SECERCAH HARAPAN_Tak Semurah Di Kota
Sumber: https://megapolitan.kompas.com/read/2013/09/13/1625561/.Semurah.Apa.Pun.Mobilnya.Saya.Enggak.Akan.Sanggup.Beli |
Malam yang mulai gelap. Matahari sudah menyembunyikan sinarnya.
Hewan-hewan malam tanpa perintah dan komando mulai bekerja menampilkan suara
merdunya.
Seminggu yang lalu, Adi (kakaknya Amir) meminjam printer dari teman
sekampusnya. Kebetulan kakak tingkat Adi
mempunyai dua printer.
Adi meletakkan printer di ruang tengah di belakang televisi. Kalau
diletakkan di kamar, akan mengganggu istirahat dia saat Amir mengeprint.
“Mir! Kata Adi ke Amir yang lagi mengetik tugas di kamarnya.
“Ada apa Mas? Jawab Amir sambil menoleh kakaknya yang sedang
berdiri di pintu kamarnya.
“Nanti jika mau nyetak itu
printernya di belakang televisi”, kata Adi sambil menunjukkan posisi
printernya.
“Oke Mas! Jawab Agus dengan raut wajah sedikit gembira. Ia tidak
lagi mengganggu kakaknya jika ingin mencetak tugas.
Tulang punggung dan otot-otot tangan Amir sudah mulai mengendor dan
perlu istirahat sejenak. Kelelahan tersebut karena hampir dua jam Amir berada
di depan laptopnya. Akhirnya ia mengambil posisi duduk untuk melangkah ke luar
kamar. Optik alamnya membisikkan untuk menonton tayangan selain tulisan. Amir
ke ruang tengah menonton televisi sejenak.
“Lho Mir! Kata ibunya yang juga lagi santai di depan televisi.
“Katanya kamu mengerjakan tugas? Lanjut beliau bertanya.
“Iya Bu! Lagi istirahat sejenak, tangan dan punggung saya capek”,
jawab Agus sambil memegang punggunya yang mulai lelah.
Rupanya hanya butuh waktu setengah jam punggung dan tangannya sudah
mau diajak kerja lagi. Keadaan tersebut karena pikiran Amir tidak tenang kalau
besok tugas sekolahnya tidak terselesaikan.
Amir kembali melangkahkan kakinya ke kamar. Saat di tinggal
istirahat, laptopnya masih hidup. Ia lanjutkan mengetik setiap kalimat yang
ada. Kalimat-kalimat ia susun dengan rapi sesuai yang diharapkan. Paragraf demi
paragraf disambungkan agar membentuk
suatu bacaan yang tidak membosankan pembaca.
Banyak deskripsi yang ia buat dalam menjelaskan setiap bagian yang
ada. Dari halaman satu ke halaman berikutnya ditata sedemikian rupa agar
menjadi jembatan yang enak untuk dilewati.
Apa yang dilakukan Amir tersebut hampir memakan 80 halaman. Ia tata
baris dan kertas sesuai aturan yang diberikan gurunya.
Amir keluar dari kamarnya menuju printer untuk mencetak tugas. Ia
ambil kertas di kamar kakaknya.
“Lho Kak! Kertanya kok tinggal sedikit”, kata Amir ke kakaknya yang
sedang membaca buku kuliah.
“Iya! Kemarin saya pakai mencetak tugas kuliah”, kata Adi sambil
membolak balik halaman buku yang dibaca. “Coba aja beli ke toko sebelah, kakak
lupa pas ke kampus tidak beli kertas”, lanjut Adi menjawab.
“Mahal Mas! Kata Amir dengan wajah sedikit cemberut.
“Gak pa pa Mir! Memang tak semurah di kota”, kata kakaknya sambil
memberikan uang untuk membeli kertas di toko sebelah rumahnya.
Dengan langkah cepat Amir langsung lari ke toko sebelah. Kalau
menunggu kakaknya membeli kertas di kota, maka malam ini ia tidak bisa
menyelesaikan tugas. Pada hal besok tugas harus dikumpulkan.
Amir masih bisa bersyukur bisa menyelesaikan tugas walau kertas
yang dibelinya tak semurah di kota. Memang ada selisih sedikit harga. Di kota
tokonya besar, wajar kalau murah. Lagi pula pembelinya banyak juga. Beda dengan
di desa, pembelinya tertentu dan tokonya tidak terlalu besar. Agus berpikir
yang penting tugas bisa terselesaikan sesuai harapan.
Salam Literasi,
AHSANUDDIN, S.Pd, M.MPd
Komentar
Posting Komentar